Bagikan:

JAKARTA – Skandal korupsi PT Pertamina Patra Niaga menunjukkan lemahnya tata kelola keuangan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, ancaman lebih besar tengah mengintai dari pengelolaan aset luar biasa besar di bawah Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara).

Belakangan ini publik dikejutkan dengan kasus korupsi anak usaha PT Pertamina (Persero) terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada periode 2018-2023.

Menurut Kejaksaan Agung (Kejagung) kasus korupsi ini diperkirakan merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Angka fantastis itu merupakan kerugian negara hanya untuk tahun 2023. Jika ditotal, kerugian akibat korupsi pengelolaan minyak mentah dan produk dari kilang PT Pertamina, sub holding, serta kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) pada periode periode tersebut ditaksir mencapai hampir Rp1 kuadriliun.

Sampai dengan Rabu (26/2/2025) sudah ada sembilan tersangka yang dicokok Kejagung. Terkini, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Maya Kusmaya dan VP Trading Produk Pertamina Patra Niaga Edward Corne ditetapkan sebagai tersangka.

Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan berjalan memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023 di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (25/2/2025). (ANTARA/Rivan Awal Lingga/nym)

Mereka menyusul tujuh tersangka lainnya yang lebih dulu ditetapkan Kejagung di awal pekan ini, meliputi empat orang penyelenggara negara, di antaranya Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Patra Niaga, Riva Siahaan. Ditambah, tiga tersangka dari pihak swasta salah satunya adalah Muhammad Kerry Adrianto Riza sebagai beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa.

Tata Kelola Keuangan Lemah 

Angka fantastis dalam korupsi PT Pertamina, menurut pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho mengonfirmasi lemahnya tata kelola keuangan di BUMN. Tapi Hardjuno mengatakan, ada ancaman lebih besar yang mengintai dari pengelolaan BPI Danantara, yang resmi diluncurkan pada 24 Februari.

Sebagai lembaga yang menglola aset negara senilai puluhan ribu triliun rupiah, BPI Danantara memiliki potensi korupsi yang jauh lebih besar dibandingkan kasus-kasus sebelumnya, termasuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan obligasi rekapitalisasi BLBI yang nilainya mencapai lebih dari Rp1.000 triliun.

“Kata kuncinya kelemahan dalam tata kelola aset negara berpotensi menjadi ladang korupsi sistemik yang merugikan rakyat dalam skala besar. Preseden-preseden korupsi di pemerintahan dan juga di BUMN, sulit membuat kita bisa percaya begitu saja pada Danantara,” kata Hardjuno dalam keterangannya.

Kasus BLBI dan obligasi rekapitalisasi BLBI yang totalnya lebih dari Rp1000 triliun masih menyisakan tanda tanya besar terkait pemulihan aset negara. Di sisi lain, berbagai kasus mega korupsi di BUMN dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pola yang berulang.

Contohnya dugaan korupsi dalam tata niaga di PT Timah yang menyebabkan potensi kerugian negara mencapai Rp300 triliun. Kasus lainnya adalah korupsi dana pensiun militer di PT Asabri, skandal investasi bodong di PT Jiwasraya, dan pengadaan pesawat untuk Garuda.

“Semua kasus ini memperlihatkan bagaimana lemahnya pengawasan terhadap keuangan negara dapat menyebabkan penggerogotan aset,” imbuh Kandidat Doktor Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga itu.

Ladang Korupsi Baru

Danantara memiliki mandat mengelola aset-aset negara dalam jumlah yang sangat besar. Seperti diketahui, Danantara pada tahap awal akan mengonsolidasikan aset Indonesia Investment Autority (INA) dan aset tujuh BUMN jumbo dalam pengelolaannya, yaitu Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, Perusahaan Listrik Negara (PLN), Pertamina, Bank Negara Indonesia, Telkom Indonesia, dan MIND ID.

Dengan total aset awal Danantara mencapai Rp14.670 triliun, minimnya transparansi dan lemahnya sistem audit membuka peluang terjadinya penyimpangan yang bahkan bisa melampaui kasus Pertamina.

Jika BLBI dan obligasi saja menyisakan lubang hitam keuangan yang sulit ditelusuri, maka Danantara, dengan portofolio aset yang lebih luas, bisa menjadi bom waktu yang lebih berbahaya bagi keuangan negara.

"Pengelolaan aset sebesar itu tanpa pengawasan yang kuat hanya akan menciptakan ladang korupsi baru, di mana kasus seperti yang terjadi di Pertamina dapat terulang dalam skala yang lebih besar," ujar Hardjuno.

Kasus korupsi anak usaha PT Pertamina (Persero) terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada periode 2018-2023 diperkirakan merugikan negara hingga Rp193,7 triliun untuk tahun 2023. (ANTARA/HO-Pertamina Patra Niaga Subholding Commercial & Trading PT Pertamina)

Selain itu, ada juga tantangan besar lainnya yaitu potensi konflik kepentingan di dalam pemerintahan dan BUMN itu sendiri. Tanpa filter yang kuat, politisi dan pihak-pihak yang berkepentingan dapat dengan mudah menyalahgunakan aset Danantara demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Pengawasan yang tidak ketat, menurut Hardjuno, membuat penyelewengan dana akan kian sulit diungkap. Untuk itu, keterlibatan publik dan transparansi menjadi kunci utama untuk mencegah hal ini.

"Kita butuh sistem audit yang diawasi oleh publik, melibatkan akademisi berintegritas tinggi, serta media yang tidak takut mengungkap kebenaran. Jika dibiarkan, Danantara bisa menjadi salah satu bencana keuangan terbesar bagi bangsa ini," katanya lagi.

Selain itu, Hardjuno menambahkan, audit independen yang dilakukan secara reguler oleh lembaga independen sangat penting untuk menghindari konflik kepentingan.