JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) pada 24 Februari 2025. Danantara dapat menjadi angin segar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional melalui pengelolaan aset perusahaan pelat merah.
Dalam peluncuran Danantara awal pekan ini, Prabowo juga menjabarkan makna filosofi di balik nama badan pengelola investasi baru tersebut, yaitu Daya berarti energi kekuatan, Anagata berarti masa depan, dan Nusantara artinya Tanah Air.
Secara sederhana, Danantara dapat diartikan kekuatan masa depan Nusantara.
Namun peluncuran Danantara menimbulkan banyak pertanyaan, di antaranya soal kemungkinan tumpang tindih dengan Indonesia Investment Authority (INA), yang juga merupakan Lembaga Pengelola Investasi (LPI).

Sejak wacana Danantara mencuat akhir tahun lalu, banyak pihak yang penasaran dengan konsep serta tujuan utama dari lembaga ini, terutama dalam kaitannya dengan investasi dan pengelolaan aset negara.
Tidak sedikit pula yang membandingkan Danantara dengan INA, sebuah lembaga pengelola dana investasi yang sudah lebih dulu beroperasi. Pertanyaan publik soal dua lembaga ini adalah hal lumrah, mengingat keduanya sama-sama bergerak di ranah investasi dan pengelolaan aset strategis.
Dua Entitas Berbeda
Presiden Prabowo mengumumkan akan meluncurkan Danantara dalam acara World Government Summit 2025 secara virtual di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Jumat (14/2/2025).
Sementara itu, INA lebih dulu berdiri, yaitu tepatnya di era Presiden ketujuh Joko Widodo (Jokowi). Ia mendirikan sovereign wealth fund (SWF) atau dana investasi pemerintah ini pada Januari 2021. Dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
Setelah acara pelantikan pengurus, Senin (24/2/2025), Chief Executive Officer (CEO) Danantara Rosan Roeslani memastikan INA bukan bagian dari Danantara. Ia mengatakan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) ini tetap menjadi entitas tersendiri meski sudah ada Danantara yang berbentuk BPI.
“(INA) entitas tersendiri,” kata Rosan.
Selain itu, Rosan juga memastikan nantinya perusahaan BUMN yang berada di bawah Danantara akan bertambah. Dia menyebut seluruh perusahaan pelat merah akan jadi bagian dari Danantara.

Senada dengan Rosan, Chief Operating Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria juga mengiyakan bahwa INA akan terpisah dengan Danantara.
Ia juga memastikan seluruh perusahaan pelat merah, termasuk sektor aviasi akan masuk menjadi bagian dari Danantara. Dony menyebut pemerintah menargetkan hal ini sudah harus rampung sebelum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dilakukan pada Maret tahun ini.
Meski Rosan menegaskan INA bukan bagian dari Danantara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan di dalam Danantara ada INA, termasuk dengan konsolidasi aset tujuh BUMN.
“Sementara sebelumnya di INA (BUMN) tidak ada. Itu bedanya. Jadi Danantara ini merupakan payung kendaraan investasi yang lebih tinggi dibandingkan INA,” ujar Bhima saat dihubungi VOI.
Butuh Sosok Pengurus yang All Out
Namun, Bhima menegaskan satu hal yang menjadi pelajaran dari pendirian INA adalah lembaga bentukan Jokowi ini belum mampu menarik investor asing masuk ke IKN. Sedangkan Danantara sekarang diharapkan bisa mendorong investasi langsung masuk karena memiliki jaminan aset dari BUMN, termasuk tujuh BUMN jumbo yaitu Pertamina, MIND ID, Telkom, Bank Mandiri, BRI, serta BNI.
Di sisi lain, payung hukum INA dan Danantara memiliki perbedaan soal status kerugian. PP No.74/2020 tidak menjelaskan apabila kerugian INA termasuk kerugian negara atau tidak. Sementara itu, amandemen UU BUMN yang baru mengatur bahwa keuntungan atau kerugian yang dialami BPI Danantara merupakan keuntungan atau kerugian Badan.
“Jadi ini plus minus. Di satu sisi ini memberikan keleluasaan bagi manajemen Danantara mencari berbagai skema pembicayaan proyek tanpa khawatir apabila proyeknya merugi akan terseret kasus hukum kerugian negara,” tegasnya.
“Ada banyak pelajaran kenapa INA tidak berhasil menarik investasi, berarti Danantara harus lebih serius lagi memastikan investor masuk ke proyek-proyek prioritas,” Bhima menambahkan.

Bhima juga menyampaikan, butuh sosok pengurus yang all out dalam menjalankan operasional Danantara. Pernyataan ini merujuk pada beberapa pengurus Danantara yang masih merangkap jabatan dengan jabatan lain di pemerintahan.
“Dibutuhkan baik sosok pengurus direksi maupun penasihat yang ‘all out’ dalam menjalankan Danantara secara operasional,” ujarnya.
Ia menyarankan agar para pimpinan Danantara sebaiknya memilih salah satu jabatan di tengah rangkap jabatan yang sedang dijalani. Ini dilakukan supaya terhindar dari konflik kepentingan dan menghindari kepentingan politik.
“Ini bisa menghindari conflict of interest, kemudian bisa menghindari kepentingan politik juga kalau rangkap jabatan ditiadakan, artinya bisa memilih salah satu,” ujar Bhima.
Seperti diketahui, Prabowo menunjuk Rosan Roeslani sebagai CEO Danantara, Dony Oskaria sebagai Chief Operating Officer (COO) Danantara, dan Pandu Patria Sjahrir sebagai Chief Investment Officer (CIO) Danantara.
Padahal saat ini Rosan masih menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Dony Oskaria menjabat sebagai Wakil Menteri BUMN, dan Patria Sjahrir sebagai Ketua Pengembangan Keuangan Digital Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia.
Konflik dalam Mengelola Aset Negara
Sejak Presiden Prabowo menyinggung rencana pembuatan Danantara akhir tahun lalu, wacana ini sebenarnya sudah menjadi sorotan. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran terkait potensi tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian BUMN dan INA.
Pengamat ekonomi dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menuturkan, keberadaan Danantara bisa menimbulkan masalah koordinasi dengan badan investasi yang sudah ada.
“Sangat berpotensi tumpang tindih dengan INA dan Kementerian BUMN. Saya khawatir pembentukan institusi ini ide spontan saja, tanpa didasari studi dan analisa yang mendalam,” ujar Wijayanto pada Oktober tahun lalu.
Menurutnya, lembaga investasi INA sudah berfungsi dengan baik sebagai pengelola investasi yang profesional. Wijayanto justru menyarankan pemerintah hanya perlu memperluas cakupan bisnis INA tanpa harus membentuk badan investasi baru.
BACA JUGA:
Hal ini untuk menghindari adanya redundansi dan konflik kepentingan dalam pengelolaan aset negara. Selain itu, Wijayanto menekankan pentingnya pengelolaan BUMN tetap berada di bawah kendali Kementerian BUMN.
“Pengelolaan BUMN idealnya tetap dalam ranah kementerian karena lebih otoritatif dibandingkan bentuk holding. Hal ini memberi kementerian kekuatan untuk mengatur dan mengendalikan BUMN dengan lebih baik,” jelasnya.
Secara psikologis dan budaya, kata Wijayanto, masyarakat Indonesia lebih tunduk kepada institusi pemerintah dibandingkan korporasi, sehingga kementerian memiliki otoritas yang lebih kuat untuk memastikan arah pengelolaan BUMN berjalan sesuai dengan kebijakan negara.