JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengeluarkan kebijakan kontroversial. Dia membekukan dana bantuan ke luar negeri melalui United States Agency of International Development/USAID (Badan Pembangunan Internasional AS). Penghentian program oleh USAID bisa berdampak negatif terhadap bantuan kemanusiaan, kesehatan global, serta diplomasi yang dijalankan oleh AS.
Kebijakan menghentikan semua bantuan luar negeri AS diumumkan tak lama setelah Trump dilantik pada Januari 2025. Ini dilakukan sebagai bagian dari strategi efisiensi anggaran AS dan kampanye Make America Great Again (MAGA). Trump juga menganggap USAID menghabiskan anggaran negara tanpa memberikan langsung bagi warga negaranya.
"Saya putuskan untuk segera membekukan perekrutan pegawai federal, regulasi federal, dan bantuan asing," kata Trump dalam pidatonya di Konferensi Aksi Politik Konservatif (CPAC) di Washington, Sabtu (22/2/2025).

“Kita memberikan miliaran dolar ke negara-negara yang membenci kita,” kata dia, menambahkan.
Trump juga memuji upayanya menghentikan pemborosan anggaran dengan mendirikan Department of Government Efficiency/DOGE (Departemen Efisiensi Pemerintah) yang dipimpin miliarder Elon Musk.
Pro Kontra Penutupan USAID
USAID didirikan pada 1961 oleh Presiden AS John F.Kennedy. Lembaga ini didesain untuk mengelola program-program bantuan kemanusiaan dari AS dan fokus pada bidang pengembangan ekonomi dan sosial di negara-negara berkembang.
Mengutip laman resmi, USAID merupakan lembaga kemanusiaan dan pembangunan terbesar yang dimiliki oleh Pemerintah AS. Lembaga ini bertanggung jawab menyalurkan bantuan luar negeri ke lebih dari 130 negara di seluruh dunia dengan anggaran tahunan yang mencapai puluhan miliar dolar AS.
Sebagian besar anggaran yang dikelola oleh USAID difokuskan pada proyek-proyek infrastruktur, bantuan kemanusiaan, program kesehatan, pendidikan, dan pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang.
Kini, keputusan Trump menghentikan bantuan ke luar negeri melalui USAID mendapat kritik dari banyak pihak karena badan ini sebelumnya beroperasi sebagai lembaga independen yang fokus pada bantuan kemanusiaan dan pembangunan negara berkembang.

Sejumlah pejabat senior di lembaga tersebut kabarnya menerima sanksi administratif karena menolak memberikan akses kepada tim efisiensi pemerintahan yang dipimpin Elon Musk.
Di sisi lain, sekelompok senator dari Partai Demokrat menegaskan bahwa Trump tidak memiliki wewenang untuk membubarkan USAID tanpa mendapatkan persetujuan dari Kongres. Menurut mereka, langkah pembubaran ini berpotensi melanggar undang-undang federal yang mengatur pengalokasian dana bantuan luar negeri.
Sementara itu, pendukung Trump berargumen bahwa reformasi birokrasi sangat diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan anggaran, serta untuk memastikan bahwa dana yang dikeluarkan oleh pemerintah AS lebih transparan dan efisien.
Program Pemerintah Terbengkalai
Indonesia sendiri termasuk salah satu penerima bantuan USAID. Selama lebih dari 20 tahun, USAID telah memberikan bantuan senilai 5 miliar dolar AS atau sekitar Rp81 triliun (kurs Rp16.000) kepada Indonesia, yang mencakup berbagai sektor seperti kesehatan, pendidikan, perubahan iklim, dan pemerintahan demokratis.
Pada 2023 saja, program-program di Indonesia menerima dana sebesar 153 juta dolar AS atau sekitar Rp2,4 triliun dari USAID.
Beberapa program utama yang dijalankan USAID di antaranya USAID MPHD yang berfokus pada peningkatan layanan kesehatan ibu dan bayi, USAID PASTI, yang bertujuan menekan angka stunting pada anak. Selain itu, ada pula USAID PREVENT TB, yang menangani pencegahan dan pengobatan tuberkulosis (TBC).
Saat pandemi COVID-19, USAID memberi bantuan senilai 65 juta dolar AS dan membantu pengiriman 100 juta dosis vaksin ke Indonesia.
Ketua Program Studi Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam PhD mengatakan, executive order oleh Donald trump ini akan memberikan dampak signifikan tidak hanya bagi Indonesia tapi juga kawasan Asia Tenggara dan belahan dunia lainnya.

Menurut Umam, penghentian USAID ini impaknya akan cukup beragam, termasuk Asia Tenggara. Tahun lalu USAID mengalokasikan sekitar 860 juta dolar AS untuk kawasan Asia Tenggara untuk berbagai program. Mulai dari TBC, peningkatan kualitas manusia secara umum di kawasan Asia Tenggara yang terdiri atas 700 juta masyarakat.
“Kalau dihentikan akan terjadi turbulensi yang cukup serius, akan banyak program-program kemanusiaan yang terhenti dan impaknya adalah kualitas program pemerintah terutama di negara berkembang akan terbengkalai,” kata Umam.
Hal senada juga dituturkan Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Satria Unggul Wicaksana Prakasa. Penutupan USAID akan berdampak buruk bagi negara-negara mitra, termasuk Indonesia.
"Artinya ketika berbicara tidak lagi ada bantuan dari Donald Trump, ini sebenarnya menjadi problem, menjadi persoalan yang mengurangi intensitas atau strategi di dalam mengatasi problem-problem sosial lainnya," ujarnya dalam laman UM Surabaya.
Kemungkinan Renegosiasi
Ahmad Khoirul Umam menuturkan, dampak penutupan USAID oleh Presiden Trump akan makin terasa oleh Indonesia karena di dalam negeri saat ini tengah menghadapi situasi ekonomi yang tidak baik-baik saja, juga sedang dilakukan pemangkasan anggaran sebagai bagian dari strategi efisiensi, sehingga banyak kementerian dan lembaga yang melakukan rasionalisasi anggaran.
“Jadi akan terasa double impact, karena anggaran internal dipangkas, bantuan luar negeri dari AS dipangkas, maka akan terjadi penurunan government spending maupun public consumption,” tutur Umam.
“Ini akan berdampak cukup serius, terutama terkait pertumbuhan ekonomi di 2025,” imbuhnya.
Untuk itu, Umam mendorong pemerintah Indonesia untuk mencoba melakukan renegosiasi, dan menjadi bagian dari aspirasi bagaimana bantuan-bantuan itu bisa tetap dipertimbangkan untuk tetap dilanjutkan.
BACA JUGA:
“Negara Indonesia bersama negara berkembang lainnya, misalnya Asia Tenggara, melakukan renegosiasi supaya langkah ini bisa dimitigasi dengan baik,” ucapnya.
Di sisi lain, Satria Unggul Wicaksana Prakasa menyarankan pemerintah Indonesia untuk segera mencari sumber pendanaan lain guna mengisi kekosongan yang ditinggalkan USAID. Lebih lanjut, ia menambahkan jika meskipun kebijakan ini merupakan keputusan yang harus dihormati, kontribusi USAID selama ini telah memberikan dampak positif di banyak sektor.
"Kemudian di pendidikan, termasuk riset dan penegakan hukum di dalam banyak skema dengan mitra-mitra strategis yang dimilikinya. Ketika kemudian bantuan ini dicabut, tentu ini akan mengurangi strategi kita di dalam mengatasi problem-problem yang menghambat Indonesia untuk maju," kata Satria.