JAKARTA – Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli berharap tidak ada diskriminasi usia dalam lowongan kerja. Jika direalisasikan, rencana ini nantinya akan menemukan banyak tantangan.
Saat Indonesia dihadapkan pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belum tampak akhirnya, rencana Menaker Yassierli untuk menghapus syarat batas usia maksimal dan narasi berpenampilan menarik dalam iklan lowongan kerja mendapat respons positif dari berbagai kalangan.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyambut baik wacana ini. Menurutnya, dengan adanya peraturan ini maka masyarakat yang terkena PHK di usia 30-40 tahun bisa memiliki kesempatan untuk bekerja kembali.
Meski demikian, wacana penghapusan batas usia dalam rekrutmen juga mengundang pertanyaan. Masykur Isnan selaku pengamat hukum pidana menuturkan, wacana tersebut memiliki sejumlah tantangan, di antaranya membuat persaingan antar generasi semakin ketat, serta pekerja yang lebih tua perlu beradaptasi dengan teknologi dan sistem kerja baru.
Digugat ke Mahkamah Konstitusi
Praktik ketentuan batas usia dalam lowongan kerja pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh karyawan di Bekasi, Leonardo Olefin Hamonangan.
Ia memohon menguji konstitusionalitas Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Bunyi dari Pasal tersebut, yaitu “Pemberi kerja yang memerlukan tenaga dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja”.
Menurutnya, pasal yang ada di UU Nomor 13 Tahun 2003 akan membuat “celah” bagi praktik diskriminasi dalam perekrutan, seperti mencantumkan batas usia maksimal, latar belakang pendidikan, dan pengalaman kerja. Namun MK menolak permohonan Leonardo pada Juli tahun lalu.
MK menganggap usia tidak termasuk dalam diskriminasi, karena diskriminasi dalam pekerjaan lebih merujuk pada agama, ras, suku, golongan, status sosial-ekonomi, jenis kelamin, pandangan politik, serta bahasa.

Wacana penghapusan batas usia dalam lowongan kerja kembali menjadi perbincangan setelah diusulkan Menaker Yassierli beberapa waktu lalu, karena dianggap sebagai bentuk “diskriminasi”.
"Kami ingin tidak ada diskriminasi, kami ingin semua lapangan kerja itu terbuka buat siapa pun," kata Menaker Yassierli, seperti dikutip Antara.
"Sehingga semua mendapatkan kesempatan yang sama untuk bekerja," lanjutnya.
Sebelumnya, pada peringatan Hari Buruh awal Mei lalu, pemerintah Jawa Timur menerbitkan surat edaran yang mendorong agar perusahaan “tidak lagi mencantumkan batas maksimal usia yang tidak relevan secara objektif” di lowongan kerja.
Tantangan bagi Pencari Kerja dan Perusahaan
Masykur Isnan menuturkan, pembatasan usia yang tidak relevan dengan jenis pekerjaan merupakan bentuk diskriminasi yang menghambat akses kerja, terutama bagi pelamar berusia di atas 35 tahun.
Apalagi, data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2024 menunjukkan tingkat pengangguran terbuka usia 40 tahun ke atas mencapai 4,8 persen.
“Jika praktik ini dibiarkan, kelompok usia produktif yang lebih tua akan semakin tersingkir,” katanya saat dihubungi VOI.
Kebijakan ini juga, Isnan melanjutkan, selaras dengan Konvensi International Labour Office (ILO) No.111 yang melarang diskriminasi berbasis usia. Karena itu, ia menilai surat edaran ini merupakan langkah yang penting untuk memberikan kesempatan usia lebih dari 35 tahun untik mendapatkan kerjaan.
BACA JUGA:
“Dengan diterbitkannya imbauan ini perlu juga diikuti dengan regulasi yang lebih mengikat dan pengawasan di lapangan agar tepat sasaran,” Masykur Isnan menambahkan.
Meski demikian, ia mengatakan wacana penghapusan batas usia dalam kerja juga memiliki tantangan ke depannya, baik dari sisi pencari kerja maupun dari sisi perusahaan.
Di antaranya memperketat persaingan antar generasi, dan pekerja yang lebih tua perlu beradaptasi dengan teknologi dan sistem kerja baru.
“Dari sisi perusahaan, mereka mendapatkan keleluasaan memilih kandidat berdasarkan kompetensi, tetapi juga harus siap mengelola kebutuhan pelatihan dan kesehatan pekerja lintas usia,” tutur Managing Director Masykur Isnan & Partners Law Firm.
Potensi Pengangguran Usia Produktif
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, selama pembatasan usia maksimal hanya berwujud imbauan, pada akhirnya akan kembali ke perusahaan masing-masing untuk menerapkannya, sesuai kebutuhannya.
Yang menjadi masalah, kata Timboel, adalah saat pemerintah membuat regulasi yang mewajibkan perusahaan untuk menerapkannya.
"Menurut saya justru pemerintah membuat sebuah kekakuan dalam proses perusahaan yang mau merekrut," ujar Timboel.
“Ini yang menjadi persoalan, perusahaan akhirnya tidak mempunyai keleluasaan untuk merekrut sesuai kebutuhan,” ujar dia mengimbuhkan.

Untuk itu, Timboel tak begitu setuju jika pemerintah malah ikut campur dengan menghapus batasan usia maksimal pencari kerja. Menurut dia, ada hal yang lebih penting untuk diurusi pemerintah.
"Lebih baik pemerintah fokus bagaimana membuka lapangan kerja, supaya orang-orang yang sudah agak relatif tua ini bisa ikut masuk kerja," jelasnya.
Ia khawatir penghapusan batas maksimal malah akan membuat angka pengangguran di kalangan anak muda atau usia produktif meningkat.
"Menurut saya lebih baik pemerintah mencoba membuka lowongan yang usia di atas untuk bisa bekerja di sektor pelayanan publik, jadi pemerintah enggak usah ngurusin swasta,” ucap Timboel lagi.