JAKARTA - Ribuan karyawan PT Sri Rejeki Isman (Sritex) yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dikabarkan bisa kembali bekerja dalam dua pekan ke depan.
Setelah beroperasi sejak 1966, PT Sritex tak lagi beroperasi mulai 1 Maret 2025 buntut tak bisa membayar utang atau pailit. Perusahaan yang memproduksi seragam militer untuk berbagai negara di dunia ini memiliki utang sebesar 1,597 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp26,2 triliun berasal dari kreditur separatis senilai Rp716,7 miliar dan tagihan kreditur konkuren Rp25,3 triliun.
Total ada lebih dari 10.000 orang karyawan Sritex Grup yang di-PHK mulai Januari sampai Februari 2025.
Namun tak lama setelah dinyatakan pailit, muncul angin segar yang diembuskan Presiden Prabowo Subianto melalui tangan kanannya, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi. Ia mengatakan Sritex akan buka dengan skema baru.
Pembukaan operasi dengan skema baru itu katanya, akan membuka ruang bagi 8.000 pekerja Sritex bekerja lagi.

"Atas petunjuk Bapak Presiden (Prabowo), Bapak Presiden sangat concern bagaimana pemerintah mencari jalan keluar, terutama berkenaan dengan masalah yang akan menimpa para pekerja di PTSritex," ucap Prasetyo dalam Konferensi Pers di Kantor Presiden, Senin (3/3).
"Harapan kami dari pemerintah tentunya semua pekerja yang selama ini menjadi karyawan di PT Sritex, kurang lebih ada 4 perusahaan. Kurang lebih di 8.000 sekian karyawan untuk bisa semuanya nanti akan kembali bekerja dengan skema yang baru," kata Pras.
Bukan Penyelesaian Jangka Panjang
Dalam konferensi pers yang digelar awal pekan ini, Prabowo didampingi sejumlah pihak termasuk Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Koordinator Serikat Pekerja Sritex Group Slamet Kaswanto, dan kurator kepailitan Nurma Sadikin.
Kurator Sritex menyebut opsi awal yang muncul terkait skema operasi baru itu adalah adanya investor yang berminat menyewa alat berupa alat berat milik perusahaan Sritex Group. Belum dijelaskan secara pasti siapa yang menjadi investor tersebut.
Selain itu, Nurma juga belum bisa memastikan apakah semua karyawan Sritex yang di-PHK bisa direkrut secara permanen oleh investor baru atau hanya sementara selama alat berat perusahaan tekstil itu disewakan.
Melihat penjelasan Menaker, ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai kesepakatan tersebut hanya sementara.
Pernyataan ini, yang muncul setelah adanya diskusi Presiden Prabowo dengan sejumlah bawahannya, menurut Andri bukan penyelesaian jangka panjang. Ia juga sangsi dengan adanya investor yang ingin membeli Sritex mengingat utang perusahaan tersebut menggunung.

“Jadi sebenarnya ini kan bukan mengambil alih perusahaan, hanya sewa alat. Karena sifatnya sementara, nasib pekerja yang diserap kembali ini juga berstatus sementara karena perusahaan penyewa peralatan ini hanya mau mempekerjakan (buruh Sritex) selama masa sewa peralatan," tutur Andri saat dihubungi VOI.
“Sebenarnya ini belum ada kepastian, sehingga jangka panjangnya belum pasti,” imbuhnya.
Hal senada juga disampaikan Praktisi Hukum Masykur Isnan. Kehadiran investor, berdasarkan informasi di ruang publik, hanya berfokus pada penyewaan alat-alat Sritex yang saat ini di bawah kurator.
Artinya, akan terbatas pada jangka waktu perjanjian sewa, sehingga mantan pekerja Sritex kemungkinan besar akan direkrut dengan berstatus hubungan kerja dengan perjanjian kerja jangka waktu tertentu (pkwt) atau kontrak.
“Setelah selesainya jangka waktu, hal ini perlu menjadi perhatian kembali, selain itu apakah mampu menyerap seluruh mantan pekerja, dasar kualifikasi atau job requirement-nya, dan sebagainya, hal ini harus juga menjadi fokus untuk memitigasi kecemburuan dan sebagainya,” terang Isnan melalui pesan singkat.
BACA JUGA:
Yang terpenting saat ini, kata Isnan, adalah pemenuhan hak mantan karyawan Sritex, yaitu pesangon, jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), jaminan hari tua (JHT), dan tunjangan hari raya (THR).
“Serta kepastian hubungan kerja jangka waktu tidak tertentu (PKWTT) atau tetap ke depannya untuk membuka kesempatan kerja yang pasti,” tambahnya
Pertanyakan Kehadiran Erick Thohir
Alih-alih hanya menyewa alat besar Sritex, Andri menyebut para kreditur sebenarnya menginginkan ada investor yang bisa membeli Sritex untuk melunasi utang mereka dan asetnya dilikuidasi.
Sayangnya, dari sisi bisnis akan sangat sulit berharap ada pihak yang mau membeli Sritex dengan kondisi utang menumpuk. Apalagi kondisi industri tekstil di Tanah Air juga sedang tidak baik-baik saja dalam beberapa tahun terakhir akibat deindustrialisasi dini.
"Saya sendiri skeptis bila ada swasta yang berniat menjadi investor yang membeli kepemilikan Sritex, kecuali 'investor' tersebut berasal dari penugasan negara dalam bentuk BUMN," jelas Andri.
Kehadiran Erick Thohir sebagai Menteri BUMN dalam konferensi pers pembahasan masa depan Sritex menjadi sorotan banyak pihak, meski ia tidak mengeluarkan pernyataan sedikit pun dalam momen tersebut.

Hal ini memunculkan spekulasi Sritex bakal “diselamatkan negara” termasuk menggunakan Danantara, lembaga pengelola investasi negara yang baru diluncurkan Presiden Prabowo akhir Februari lalu. Jika ini benar terjadi, kata Andri, bakal memunculkan preseden buruk.
“Kehadiran ET menjadi kekhawatiran, apakah BUMN akan jadi penyelamat bisnis yang pailit. Jika diselamatkan (oleh negara) maka akan menjadi moral hazard,” bebernya.
“Ini bukan sesuatu yang memberikan preseden baik untuk pebisnis lain. Karena kesannya kalau perusahaan pailit bisa diselematkan oleh negara, padahal tidak. Semoga ini tidak terjadi,” pungkasnya.